Pengertian Sekularisme
Ditulis oleh 4ld1 di/pada Maret 2, 2010Istilah sekularisme bermakna “sesuatu yang bukan agama”. Ia berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti “masa” atau “generasi” dalam arti waktu temporal. Kata ini kemudian menjadi bermakna segala hal yang berhubungan dengan dunia ini, dan dibedakan dengan hal-hal yang berbau agama. Sedang dalam bahasa Prancis, kata laïcité juga bermakna sekularisme, sekalipun makna aslinya menunjuk kepada pengertian “masyarakat biasa”, yakni mereka yang bukan berasal dari kelompok Klerus atau pendeta.[3]
Dari hal ini, setidaknya para sejarawan mendefinisikan sifat atau batasan sekularisme dalam suatu masyarakat atau budaya sebagai sesuatu yang mengindikasikan “penempatan” agama dalam masyarakat atau budaya tersebut.[4] Sekalipun demikian, seperti halnya definisi-definisi mengenai persoalan yang ada di dunia ini, definisi sekularisme ini pun masih menimbulkan polemik, yakni menyangkut apakah sekular atau tidaknya dilihat dari otoritas yang berkuasa di sebuah negara? Ataukah dilihat dari nilai-nilai yang terkandung di negara tersebut? Apakah negara yang bercorak monarki-ketuhanan itu dianggap sebagai bukan negara sekular, sedang Amerika Serikat sebagai negara sekular? Apakah ideologi negara-negara yang tidak berlandaskan pada formalitas agama disebut sebagai sekular?
Karena itu, untuk memperjelas dan mempermudah persoalan itu, ada baiknya kita membedakan pengertian antara sekularisme sebagai sebuah konsep dan sebagai sebuah proses. Pembedaan ini perlu dilakukan untuk mempertegas perbedaan yang sangat jelas antara sekularisme dengan sekularisasi. Sebagai sebuah konsep, ia merupakan produk sejarah kemodernan atau modernisme yang mengedepankan gaya hidup (life-style) materialis, empirik, rasional dan obyektif. Sungguh, modernisme, khususnya yang terjadi di Barat, adalah suatu antroposentrisme yang hampir tidak terkekang. Bahkan Arnold Toynbee, seorang ahli sejarah yang terkenal, mengatakan bahwa modernitas dimulai menjelang akhir abad ke-15, ketika orang-orang Barat “berterima kasih tidak lagi kepada Tuhan namun kepada dirinya sendiri karena berhasil mengatasi kungkungan Kristen Abad Pertengahan”. Memang, istilah sekularisme muncul di bawah kebudayaan Barat, yakni sebagai paham yang mengagungkan keabadian duniawi dan menafikan kehidupan spiritual. Ia berkonotasi kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir ini sebagai “kebijakan final” umat manusia, perwujudan terakhir dari proses panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban. Karenanya, sekularisme sebagai “isme”, mendekati ketentuan sebuah ideologi tertutup, sam seperti modernisme, nasionalisme dan lain sebagainya. Namun kalau ditilik secara historis, kita bisa menegaskan di sini bahwa sekularisme merupakan sebuah keharusan sejarah bagi masyarakat Eropa. Sebab kemunculannya yang berkembang pesat di daratan Eropa sebenarnya tidak lepas dari pengalaman sejarah mereka yang traumatik pada masa kegelapan (Dark Age). Pada masa ini, daratan Eropa berada pada satu masa kegelapan tatkala persekongkolan raja dan pihak-pihak gereja terus memberangus terobosan-terobosan yang “agak” ilmiah yang ditemukan oleh roang-orang-orang besar seperti Galileo dan Copernikus.[5] Karenanya tidak mengherankan, kemunculan Renaisance (nahdlah), Äufklarung dan reformasi gereja selain sebagai keharusan sejarah, juga sebagai tonggak sejarah dalam memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pertumbuhan sekularisme di Barat.
Dari tonggak sejarah ini, kemudian Barat berhasil memisahkan hampir semua aspek kehidupan dan pemikiran dari organisasi-organisasi keagamaan dan kependetaan; peralihan kekuasaan politik dari arena keagamaan ke negara; dari hukum-hukum keagamaan ke sekular. Dengan demikian, secara otomatis Barat mengalihkan nilai-nilai hidup yang melulu selalu berorientasi pada nilai-nilai teologis, mitologi dan hal-hal yang berbau metafisik menuju kepada nilai-nilai hidup yang selalu berorientasi kepada materi-empirik-realitas-obyektif. Dalam konteks ini, maka sekularisme menjadi nilai, pengalaman hidup (lebenswelt) dan pandangan dunia (weltanschaung) yang bersifat tertutup sebagian besar masyarakat Barat.[6] Karena itu, ketika penolakan sebagian besar umat Islam terhadap sekularisme, maka yang dimaksudkan di sini adalah sekularisme sebagai sebuah ideologi modernisme yang berwawasan materialis, ateis, liberalis, gaya hidup kebarat-baratan (westernization) dana menolak segala bentuk kebanaran-kebanaran spiritual. Hal ini setidaknya pola berpikir sebagian besar umat Islam yang secara sistematis dapat diruntut sebagai berikut:
modernisme = westernisme = liberalisme = sekularisme = ateisme[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan sekularisme sebagai proses adalah sekularisasi. Ia bermakna demitologisasi, desakralisasi, devaluasi dan demistifikasi. Menurut Robert N. Bellah, sekularisasi adalah sebuah “devaluasi radikal”, yakni penurunan nilai secara tegas dari derajatnya yang mengandung kesucian menjadi obyek yang mungkin hanya mengandung nilai-nilai praktis sehari-hari. Proses demitologisasi, desakralisasi, devaluasi dan sekularisasi terjadi secara besar-besaran pada zaman modern ini, yaitu zaman yang ditandai dengan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau mau ditilik lebih jauh, sekularisasi sebagai sebuah proses sebenarnya bukan merupakan yang baru. Ia merupakan sebuah konsep pemikiran dan perilaku yang telah berjalan sejak dahulu kala. Hal ini paling tidak dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s., sekitar dua puluh abad sebelum masehi, tatkala melakukan demitologisasi terhadap konsep tujuh hari yang berasal dari bangsa-bangsa kuno di Mesopotamia dan Yunani.[8] Konsep hari-hari seperti Sunday (minggu berasal dari bahasa Spanyol dan Portugis Do-Minggos [Do adalah hari, Minggos artinya Tuhan], yang artinya sama yakni hari matahari), Monday (hari bulan, hari senin) mengalami demitologisasi, dalam artian dilepaskan nilai-nilai sakralnya sebagai cara penentuan waktu memuja dewa-dewi langit yang tujuh.[9] Karena itu, seperti modernisasi—bukan modernisme—yang ditandai oleh kreativitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnya, maka sekularisasi juga sebagai cara pandang masyarakat dalam memahami dan menghayati segala persoalan hidup “apa adanya” tanpa sangkut-paut dengan mitologi dan dongeng-dongeng (folklore). Karena keduanya merupakan kelanjutan logis sejarah dari masa sebelumnya,[10] maka kemunculan modernisasi dan sekularisasi merupakan sesuatu yang tak terhindarkan.
menurut saya sekularisme jangan sampai melanda indonesia
BalasHapus