Jumat, 21 Mei 2010

artikel riset akuntansi

Seasoned Equity Offerings: Benarkah Underperformance Pasca Penawaran

Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi.
Nama & E-mail (Penulis): H. Sri Sulistyanto
Saya Dosen di Semarang
Tanggal: 30 September
Judul Artikel: Seasoned Equity Offerings: Benarkah Underperformance Pasca Penawaran

Artikel:

SEASONED EQUITY OFFERINGS: Benarkah Underperformance Setelah Penawaran?
HS. Sulistyanto
Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata Semarang (sulis@unika.ac.id)
Pratana P. Midiastuti
Fakultas Ekonomi Universitas Bengkulu


ABSTRACT
Penurunan kinerja (underperformance) memang cenderung mengikuti public offerings, termasuk seasoned equity offerings. Penurunan kinerja ini terjadi karena adanya upaya manajemen untuk memanipulasi kinerja yang dilaporkannya sebelum dan pada saat penawaran untuk memberikan kesan positif agar saham yang ditawarkannya direspon secara positif oleh pasar. Penelitian ini mencoba membuktikan dugaan tersebut. Dengan menggunakan data perusahaan yang melakukan SEO di BEJ selama kurun waktu 1994-1997 penelitian ini berhasil membuktikan hipotesis tersebut.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tiga tahun sebelum penawaran, kinerja perusahaan, baik kinerja keuangan maupun kinerja saham, mengalami peningkatan. Sebaliknya terjadi penurunan kinerja selama tiga tahun setelah penawaran.

Latar Belakang
Seasoned equity offerings merupakan penawaran saham tambahan yang dilakukan perusahaan yang listed di pasar modal, diluar saham yang terlebih dahulu beredar di masyarakat melalui initial public offerings (IPO) (Megginson, 1997). Penawaran ini dilakukan karena perusahaan tersebut membutuhkan tambahan dana untuk membiayai kegiatan usaha atau membayar hutangnya yang jatuh tempo. Penjualan seasoned securities ini dapat dilakukan dengan, pertama, menjual hak (right) kepada pemegang saham lama untuk membeli saham baru dengan harga tertentu-disebut dengan rights issues-atau , kedua, dijual kepada setiap investor yang ingin membeli sekuritas baru tersebut melalui second offerings, third offerings dan seterusnya. Namun perusahaan dengan kepemilikan yang terkonsentrasi akan cenderung menggunakan right issue untuk menambah ekuitas barunya (Eckbo dan Masulis, 1992).

Walaupun investor mempunyai informasi yang cukup mengenai perusahaan yang melakukan SEO tersebut, asimetri informasi (information asimmetry) tetap terjadi dalam penawaran ini (Guo dan Mech, 2000). Kondisi inilah yang memotivasi manajemen untuk bersikap oportunistik untuk melakukan manipulasi terhadap kinerjanya, baik sebelum dan pada saat penawaran (Rangan, 1998; Teoh et al., 1998). Manipulasi yang dikenal dengan istilah earnings management ini akan mengakibatkan penurunan kinerja (underperformance) setelah penawaran (McLaughlin, 1996; Loughran dan Ritter, 1997; Teoh et al., 1998; Rangan, 1999). Alderson dan Betker (1997) dan Trail dan Vos (2001) menjelaskan penurunan kinerja perusahaan yang melakukan SEO dengan menggunakan kerangka windows of opportunity dan fenomena agency theory. Dalam windows of opportunity, penurunan kinerja bisa ini terjadi karena adanya upaya perusahaan untuk mengambil keuntungan jangka pendek pada saat pasar menilai perusahaan terlalu tinggi (overvalu e),yaitu dengan mengeluarkan saham tambahanya. Padahal dalam jangka panjang penilaian yang terlalu tinggi tersebut tidak bisa dipertahankan karena pasar melakukan koreksi terhadap"kesalahannya". Sementara dalam agency theory-yaitu teori yang berfokus pada masalah yang muncul antara principal-agent dalam pemisahan kepemilikan dan kontrol terhadap perusahaan (Morris, 1987)-manajemen perusahaan berusaha untuk memberikan sinyal positif kepada pasar tentang perusahaan yang dikelolanya. Sinyal positif ini diwujudkan dalam kinerja yang dilaporkannya. Namun sinyal positif ini dalam jangka panjang tidak bisa dipertahankan oleh manajemen, yang tercermin dari penurunan kinerja yang dilaporkan oleh perusahaan tersebut (Teoh et al., 1998). McLaughin et al. (1996) yang menggunakan berbagai ukuran rasio cash flow juga membuktikan bahwa kinerja cash flow perusahaan akan mengalami penurunan kinerja sekitar 20% selama tiga tahun setelah penawaran. Sementara Loughran dan Ritter (1997) menemukan perbedaan antara kinerja operasi lima tahun sebelum dan sesudah penawaran,yaitu adanya penurunan kinerja dalam jangka panjang. Anehnya, walau average return perusahaan yang melakukan SEO hanya 7% per tahun sedangkan perusahaan yang tidak melakukan penawaran rata-rata 15% per tahun, SEO tetap mendapat respon positif dari investor. Apalagi jika investor menangkap bahwa dana yang diperoleh dari hasil seasoned issue tersebut akan diinvestasikan pada kesempatan investasi yang menguntungkan.

Sementara Denis dan Sarin (1999) mencatat bahwa rendahnya kinerja pasca SEO diakibatkan karena pengukuran earnings yang dilakukan secara "tidak tepat" oleh manajemen. Kondisi ini mempengaruhi interpretasi investor terhadap kinerja perusahaan dan mengakibatkan investor mempunyai harapan profitabilitas masa depan perusahaan yang keliru. Atau dengan kata lain investor yang naif akan overoptimism dalam meramalkan earnings masa depan dan mengalami kekecewaan terhadap realisasinya pada periode pasca penawaran. Penurunan kinerja yang terjadi sebagai dampak pengukuran tersebut akan terjadi selama lima tahun setelah SEO. Shivakumar (2000) juga menunjukkan bahwa manajemen telah melakukan overstate terhadap earnings sebelum melakukan pengumuman SEO. Lebih lanjut penelitian tersebut menunjukkan bahwa investor sebenarnya sudah menduga adanya earnings management dan secara rasional berusaha melepaskan pengaruhnya pada saat pengumuman SEO. Jadi investor memiliki penilaian yang rendah terha dap earnings sebelum SEO dan secara rasional memberikan nilai yang rendah untuk perusahaan.

Di Indonesia penelitian mengenai penurunan kinerja yang terjadi setelah SEO dilakukan oleh Harto (2001) dan Candy (2002). Harto (2001) menyimpulkan bahwa perusahaan yang melakukan right issue mengalami penurunan kinerja operasi, keuangan, dan saham selama tiga tahun setelah penawaran. Sedangkan Candy (2002) dalam penelitian mengenai SEO menyimpulkan bahwa perusahaan akan mengalami penurunan kinerja operasi, sedangkan kinerja keuangan justru mengalami kenaikan. Penelitian tersebut memberi argumen bahwa kenaikan kinerja keuangan tersebut kemungkinan besar karena (1) dana yang diperoleh dari SEO digunakan untuk membayar hutang perusahaan yang jatuh tempo dan (2) naiknya nilai hutang jangka panjang karena kemungkinan hutang yang dimiliki perusahaan merupakan hutang dalam kurs asing yang tidak dilindungi dengan sistem hedging, sehingga melemahnya rupiah berakibat meningkatkan nilai hutang.

Perumusan Masalah
Berbeda dengan penelitian Harto (2001) yang hanya menggunakan sampel perusahaan yang melakukan right issue dan Candy (2002) yang tidak menguji kinerja saham perusahaan yang melakukan SEO, maka penelitian ini memperluas sampel yang digunakan dan melakukan pengujian terhadap kinerja saham. Penurunan kinerja pasca penawaran ini sebenarnya merupakan hal logis terjadi mengingat sikap oportunistik manajemen-karena kesuperiorannya dalam menguasai informasi dibandingkan pasar-dengan melakukan manipulasi terhadap kinerja. Manipulasi ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan informasi kinerja yang "lebih baik" agar pasar merespon penawaran saham tambahannya. Namun upaya manipulasi ini biasanya tidak bisa dilakukan dalam jangka panjang, sehingga perusahaan akan mengalami penurunan kinerja. Maka berdasarkan kondisi dan fakta tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Apakah perusahaan yang melakukan SEO akan mengalami penurunan kinerja dalam jangka panjang ?

Tujuan Penelitian
Penurunan kinerja (underperformance) yang mengikuti penawaran saham, baik melalui IPO maupun SEO, sebenarnya merupakan hal yang logis mengingat menjelang dan saat penawaran baisanya perusahaan melakukan manipulasi terhadap kinerja. Manipulasi ini dilakukan dengan tujuan agar pasar memberikan respon yang positif terhadap penawaran tersebut. Manipulasi ini dilakukan dengan mengakui biaya sekarang (current cost) sebagai biaya masa depan (future cost) dan pendapatan masa depan sebagai pendapatan sekarang. Namun manipulasi ini sangat sulit untuk terus dilakukan pada periode setelah penawaran dan mengakibatkan penurunan kinerja pasca penawaran. Maka dari uraian tersebut penelitian ini bertujuan untuk mencari bukti empiris bahwa dalam jangka panjang perusahaan yang melakukan SEO akan mengalami penurunan kinerja.


Tinjauan Literatur dan Perumusan Hipotesis
Penurunan kinerja (underperformance) yang terjadi pasca penawaran saham ke publik (public offerings)-IPO maupun SEO-seolah telah menjadi pola baku (Denis, 1994; Loughran dan Ritter, 1997; Nassiripour et al., 1998; Rangan, 1998; Teoh, et al., 1998a; Espenlaub, 1999; Shivakumar, 2000). Bukti empiris menyimpulkan bahwa adanya reaksi pasar yang positif terhadap pengeluaran ekuitas baru. Pillote (1992) melaporkan bahwa pengaruh kesempatan bertumbuh akan menjadi faktor yang menimbulkan reaksi pasar yang positif. Cooney dan Kalay (1993) dengan menggunakan model yang didasarkan pada pecking order hypothesis melaporkan adanya reaksi pasar yang positif terhadap pengumuman SEO oleh perusahaan dengan pertumbuhan yang tinggi. Respon pasar yang berbeda tersebut tentu dipengaruh oleh alasan perusahaan dalam melakukan SEO, misalnya untuk memperkuat struktur modal, melakukan investasi yang membutuhkan dana besar, dan membiayai hutang yang telah jatuh tempo. Walau dengan alasan penawaran yang berbeda, SEO yang dilakukan perusahaan selalu akan diikuti dengan penurunan kinerja dalam jangka panjang.

Banyak penelitian yang menghubungkan penurunan kinerja tersebut dengan konsep windows of opportunity dan teori agensi (Traill dan Vos, 2001; Alderson dan Betker, 1997). Secara konseptual, dalam windows of opportunity manajemen berusaha memanfaatkan kesempatan pada saat mengetahui pasar telah menilai perusahaan secara overvalue. Sementara dalam teori agensi (agency theory), manajemen memanfaatkan asimetri informasi karena kesuperiorannya dalam menguasai informasi dibandingkan pasar. Sehingga dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah bahwa turunnya kinerja perusahaan tersebut berkaitan dengan sikap oportunistik manajemen untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, meski dalam jangka panjang manajemen akan kehilangan kendali atas keunggulannya, yang terefleksi dalam penurunan kinerja.

Manipulasi terhadap kinerja menjelang SEO merupakan penjelasan yang logis mengapa perusahaan tidak mampu mempertahankan kinerjanya. Manajemen melakukan manipulasi dengan menggunakan discretionary accrual, yaitu kebijakan akuntansi yang memberikan keleluasan pada manajemen untuk menentukan jumlah transaksi akrual secara fleksibel. Manipulasi yang dikenal dengan istilah earnings management ini merupakan refleksi sikap oportunistik manajemen untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri. Sehingga peningkatan laba (income increasing) menjelang penawaran, memuncak pada saat penawaran dan menurun setelah penawaran mengindikasikan sikap oportunistik manajemen untuk menaikkan harga saham yang ditawarkannya (Teoh et al., 1998a, McLaughlin et al., 1996, Alderson dan Betker, 1997, Dubois dan Jeanneret, 2000, Kim dan Shin, 2001).

McLaughlin (1996) dalam penelitiannya menggunakan berbagai ukuran rasio cash flow untuk mengetahui apakah kinerja jangka panjang setelah SEO mengalami penurunan. Hasilnya mengindikasikan bahwa kinerja cash flow mengalami penurunan sekitar 20% selama tiga tahun setelah penawaran. Sementara Alderson dan Betker (1997) mengevaluasi kinerja operasi dan harga saham jangka panjang perusahaan yang melakukan SEO dengan menggunakan rasio market-to-book asset sebagai proksi nilai pertumbuhan oportunistik (value of growth opportunisties) dan menemukan bahwa kinerja operasi pasca penawaran dalam jangka panjang adalah jelek. Dalam penelitiannya Rangan (1998) melaporkan bahwa harga saham overvalue untuk sementara waktu yaitu pada saat penawaran dan selanjutnya akan "mengecewakan" yang ditunjukkan dengan penurunan harga saham pasca penawaran. Traill dan Vos (2001) melaporkan bahwa perusahaan yang melakukan SEO akan underperformance selama lima tahun setelah issue.

Penelitian Laughran dan Ritter (1997) menggunakan enam rasio keuangan untuk melihat kinerja keuangan sebelum dan lima tahun setelah SEO. Hasilnya menunjukkan rasio keuangan-khususnya rasio profit margin dan ROA-mengalami penurunan selama empat tahun setelah penawaran tersebut. Hasil tersebut mengindikasikan adanya upaya manajemen melakukan manipulasi sebelum melakukan penawaran agar kinerja perusahaan pada saat penawaran kelihatan bagus. Penelitian yang dilakukan oleh Teoh et al. (1998a) melaporkan bahwa discreationary accruals digunakan oleh perusahaan yang melakukan SEO pada periode sebelum issue, mencapai puncaknya pada saat issue, dan menurun pada periode-periode pasca issue. Selanjutnya penelitian tersebut membuktikan bahwa ada hubungan negatif antara discreationary current accruals sebelum issue dengan laba dan return saham pasca issue. Hubungan negatif dengan return saham ini terjadi setelah mengendalikan ukuran perusahaan, rasio book-to-market, capital expenditures pasca issue.

Sejalan dengan penurunan kinerja operasi, maka penurunan kinerja saham juga akan terjadi sebagai akibat dilakukannya manipulasi pada saat penawaran tersebut (Ritter, 1991; Dechow 1996;, Bowman dan Navissi, 1998). Kondisi tersebut terjadi karena harga saham berkorelasi dengan kinerja keuangan, sehingga penurunan kinerja keuangan akan membuat pasar melakukan koreksi harga saham yang overvalue tersebut. Chambers (1999) mencatat bahwa manipulasi yang dilakukan manajemen menyebabkan misallocation modal akan yang diinvestasikan. Pengalokasian yang tidak tepat ini mempunyai implikasi terhadap harga saham yang akan dinilai secara tidak tepat (mispricing). Hal tersebut terjadi karena pasar tidak mampu mendeteksi keberadaan dan besarnya laba yang dimanipulasi. Atau dengan kata lain pasar telah gagal untuk memahami implikasi penggunaan akrual tersebut (Beneish, 2001). Tetapi dalam jangka kegagalan investor dalam menilai perusahaan akan dikoreksi sehingga akan mengakibatkan turunnnya ha rga saham perusahaan bersangkutan. Maka dari uraian tersebut hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

H1: Perusahaan yang melakukan SEO akan mengalami penurunan kinerja keuangan setelah penawaran.

H2: Perusahaan yang melakukan SEO akan mengalami penurunan kinerja saham setelah penawaran.

Metodologi Penelitian

1. Sumber Data dan Sampel Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diambil dari laporan keuangan (annual report) dan harga saham penutupan bulanan perusahaan yang melakukan SEO periode tahun 1994-1997 di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Data dibutuhkan selama tiga tahun sebelum (1991-1993) dan tiga tahun sesudah SEO (1998-2000). Perusahaan yang masuk sebagai sampel dipilih dari perusahaan non-lembaga keuangan untuk mengantisipasi kemungkinan pengaruh regulasi tertentu yang dapat mempengaruhi variabel penelitian.

Tabel 1: Sampel Penelitian

Identifikasi Perusahaan Jumlah Perusahaan yang SEO tahun 1994-1997 43 Perusahaan lembaga keuangan (11) Data laporan keuangan tidak lengkap (4) Jumlah Sampel 28

Sumber: data diolah.
2. Definisi dan Pengukuran Variabel Penelitian Kinerja dalam penelitian ini diproksikan sebagai kinerja keuangan dan kinerja saham. Kinerja keuangan merefleksikan kinerja fundamental perusahaan dan akan diukur dengan menggunakan data fundamental perusahaan, yaitu data yang berasal dari laporan keuangan perusahaan. Sedangkan kinerja saham akan mengindikasikan kinerja pasar perusahaan dan akan diukur dengan menggunakan nilai pasar saham perusahaan yang beredar di pasar modal. § Kinerja keuangan, ada beberapa ukuran kinerja keuangan yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Likuiditas, yaitu kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban keuangan jangka pendeknya pada saat jatuh tempo. Likuiditas dapat diukur dengan rasio lancar (current ratio-CR), yaitu aktiva lancar dibagi dengan hutang lancar.
2. Leverage, yang menunjukkan bagian modal non ekuitas yang digunakan untuk membiayai aktiva perusahaan. Dengan kata lain, leverage menunjukkan proporsi aktiva perusahaan yang didanai oleh pihak selain pemegang saham (shareholder). Ukuran leverage yang akan digunakan adalah rasio hutang terhadap ekuitas/modal (debt to equity ratio-DER).
3. Profitabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Ukuran profitabilitas yang akan digunakan adalah net profit margin (NPM), yaitu net income dibagi dengan pendapatan (revenue). Rasio ini mengindikasikan berapa banyak net income yang dihasilkan dari setiap rupiah pendapatan (revenue). Ukuran lainnya adalah rasio tingkat kembalian atas aktiva (return on assets-ROA), yaitu net income dibagi dengan total aktiva (rata-rata). Rasio ini mengukur efisiensi penggunaan ekuitas pemegang saham biasa.
4. Perputaran (turnover), yang mengindikasikan efisiensi dalam penggunaan aktiva perusahaan. Ukuran perputaran yang akan digunaan adalah rasio perputaran total aktiva (total assets turnover ratio-TAT), yaitu penjualan dibagi dengan total aktiva (rata-rata). § Kinerja saham, yaitu kinerja yang saham dapat diukur dengan beberapa cara, antara lain melalui tingkat pengembalian (return). Return dapat dihitung dengan rumus: Pt - Pt-1/Pt-1 , dimana Pt adalah harga saham pada periode t dan Pt-1 adalah harga saham periode sebelum t.

3. Metode Analisis Data
Analisis Deskriptif. Analisis deskripsi digunakan untuk mengetahui nilai-nilai statistik masing-masing variabel penelitian yang dipakai. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui dan membuktikan pola yang terjadi selama periode pengamatan. Pola yang biasa terjadi dalam peristiwa public offerings adalah terjadinya peningkatan yang cenderung tajam menjelang penawaran, memuncak pada saat penawaran, dan akan menurun setelah penawaran tersebut. Penurunan kinerja dalam public offerings secara teoritis akan terjadi selama tiga-lima tahun setelah penawaran (Teoh et al., 1998a, McLaughlin et al., 1996, Alderson dan Betker, 1997, Dubois dan Jeanneret, 2000, Kim dan Shin, 2001). § Uji Statistik. Uji statistik digunakan untuk menentukan keputusan menerima atau menolak hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Pengujian statistik yang dilakukan adalah dengan menggunakan: uji beda sampel berpasangan (Paired-sample t-test). Uji beda terhadap kinerja sebelum dan sesudah SEO untuk mengetahui apakah kinerja sebelum penawaran lebih tinggi dibandingkan kinerja sesudah penawaran dan membuktikan terjadinya penurunan kinerja pasca penawaran saham tambahan tersebut.

Hasil dan Analisis

Seperti dalam penelitian Teoh et al. (1998), McLaughlin et al., (1996), Alderson dan Betker (1997), Loughran dan Ritter (1997), Rangan (1998), dan Kim dan Shin (2001) yang menggunakan periode waktu tiga tahun sebelum dan sesudah SEO, maka penelitian ini menggunakan periode yang sama. Sehingga penghitungan nilai statistik (mean dan median) variabel kinerja-yaitu current ratio (CR), debt equity ratio (DER), return on assets (ROA), total assets turnover ratio (TAT), dan net profit margin ratio (NPM)-dilakukan selama tujuh tahun, yaitu dimulai dari tiga tahun sebelum SEO (t-3 atau dari tahun 1991 sampai tahun 1993) sampai dengan tiga tahun setelah SEO (t+3 atau dari tahun 1998 sampai tahun 2000). Hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 2.

 
Tabel 2: 
Statistik Deskriptif Kinerja Keuangan 
Periode t-3 t-2 t-1 t t+1 t+2 t+3
CR
Mean 1.3714 1.4245 1.5576 2.3826 1.7558 1.6866 1.4630
Median 1.2625 1.3089 1.3469 1.5626 1.4731 1.3473 1.1200
ROA
Mean 2.0904 2.1384 2.2024 2.3836 1.6225 0.9406 -1.1969
Median 0.8650 0.9986 2.0250 2.9850 2.8250 2.1200 0.0850
TAT
Mean 198.23 199.92 214.19 243.35 187.93 186.01 164.94
Median 152.29 180.76 180.68 188.36 153.16 144.33 134.88
NPM
Mean 0.7914 0.1190 0.1311 0.3646 0.3036 0.3034 -31.114
Median 0.1350 0.1500 0.1530 0.1950 0.1750 0.1700 0.8000
DER
Mean 1.4539 1.3992 1.5987 2.1451 2.5981 3.9755 2.0921
Median 1.0831 1.2235 1.4350 1.4150 1.5350 1.6388 1.5850
Sumber: data diolah.
 

Tabel 2 menunjukkan nilai mean dan median CR, ROA, TAT, dan NPM memperlihatkan pola meningkat menjelang SEO, memuncak pada pada saat SEO, dan mengalami penurunan setelah penawaran. Hasil ini konsisten dengan penelitian Teoh et al. (1998), McLaughlin et al., (1996), Alderson dan Betker (1997), Loughran dan Ritter (1997), Rangan (1998), dan Kim dan Shin (2001) yang menyimpulkan terjadinya penurunan kinerja (underperformace) pasca penawaran. Pola meningkatnya kinerja operasi dan memuncak pada saat SEO mengindikasikan adanya upaya manajemen untuk memberikan sinyal positif kepada pasar. Tingginya kinerja keuangan ini diharapkan akan direspon secara positif oleh pasar dan meningkatkan nilai saham yang ditawarkan. Sedangkan penurunan kinerja pasca penawaranan mengindikasikan ketidakmampuan manajemen untuk melanjutkan manipulasi kinerjanya.

Berbeda dengan nilai mean variabel keuangan lainnya, nilai DER menunjukkan pola yang berbeda. Variabel DER menunjukkan pola yang cenderung selalu meningkat, bahkan setelah penawaran. Hasil ini konsisten dengan penelitan Candy (2002) yang mencatat bahwa semakin meningkatnya nilai variabel DER kemungkinan dipengaruhi oleh melemahnya nilai rupiah karena pengaruh krisis ekonomi di Indonesia, yang mengakibatkan hutang jangka panjang dalam mata uang asing yang tidak dilindungi dengan sistem hedging akan berlipat nilainya jika dihitung dalam rupiah.

 
Tabel 3: 
Statistik Deskriptif Kinerja Saham 
 
Periode t-3 t-2 t-1 t t+1 t+2 t+3
RETURN
Mean -0.0120 -0.0110 -0.0056 0.0012 -0.0062 -0.0360 -0.0390
Median -0.0030 -0.0062 0.0025 0.0108 -0.0023 -0.0210 -0.0230
Sumber: data diolah.
 

Tabel 3 merupakan statistik deskriptif kinerja saham selama periode pengamatan. Konsisten dengan penelitian Loughran dan Ritter (1997) yang menyimpulkan terjadinya peningkatan kinerja saham sebelum penawaran dan penurunan pasca penawaran, maka penelitian ini juga menunjukkan pola yang sama. Kondisi ini sesuai dengan konsep windows of opportunity, yaitu konsep yang membahas upaya manajemen yang memanfaatkan kesalahan pasar menilai perusahaan secara overvalue dengan melakukan penawaran saham tambahan. Walaupun akhirnya tetap akan terjadi penurunan kinerja saham, karena pasar melakukan koreksi terhadap kesalahannya. Dari tabel terlihat bahwa kinerja saham dari t-3 (-0.0120) meningkat dan memuncak pada periode t (0.0012). Kondisi ini mengindikasikan tawaran yang dilakukan perusahaan direspon secara positif oleh pasar. Sedangkan penurunan kinerja saham memang terjadi pasca penawaran,yaitu sejak periode t+1 (-0.0062) sampai dengan t+3 (-0,0390).

Pengujian selanjutnya akan menguji apakah nilai variabel kinerja sebelum penawaran memang benar-benar lebih besar dibandingkan setelah penawaran. Hasilnya ditunjukkan dalam Tabel 4.

 
Tabel 4: 
Uji Beda Kinerja Sebelum dan Sesudah SEO
 
CR ROA TAT NPM DER AR
p-value 0.018 0.019 0.011 0.014 0.164 0.018
t-value 0.791 -1.374 -1.234 -1.574 2.472 2.129
Sumber: data diolah.
 

Tabel 4 menunjukkan hasil uji beda variabel kinerja keuangan dan saham perusahaan yang menjadi sampel penelitian. Dari pengujian terlihat bahwa dari lima variabel kinerja, terbukti hanya empat variabel yang mempunyai nilai sebelum SEO lebih besar dibandingkan nilai sesudah SEO, yaitu variabel CR, ROA, TAT, dan NPM. Nilai p-value untuk CR (0.018), ROA (0.019), TAT (0.011), NPM (0.014) yang lebih kecil dari 0,05 membuktikan bahwa kinerja keuangan sebelum SEO lebih besar dibandingkan kinerja sesudah SEO. Hal ini membuktikan telah terjadinya penurunan kinerja pasca penawaran.

Nilai p-value untuk CR sebesar 0.018 mengindikasikan bahwa rata-rata CR sebelum penawaran lebih besar dibandingkan rata CR setelah penawaran. Kondisi ini menunjukkan terjadinya penurunan yang signifikan kinerja variabel CR pasca penawaran. Sejalan dengan dugaan awal yang menyatakan adanya penurunan kinerja pasca-SEO, maka variabel ROA memperkuat dugaan tersebut. Nilai p-value 0.019 mengindikasikan bahwa nilai mean ROA sebelum penawaran lebih besar dibandingkan rata-ratanya setelah penawaran, yang artinya telah terjadi penurunan rata-rata ROA yang cukup signifikan. Nilai p-value 0.011 mengindikasikan telah terjadi penurunan nilai TAT pasca penawaran. Demikian juga untuk variabel NPM (net profit margin ratio) yang mempunyai p-value sebesar 0.014 mengindikasikan telah terjadi penurunan nilai rata-rata NPM setelah penawaran dibandingkan kenaikan nilai rata-rata NPM sebelum penawaran. Namun berbeda halnya dengan keempat variabel kinerja di atas, variabel DER (debt equity ratio) ti dak menurun pasca SEO. Nilai p-value sebesar 0,164 (lebih besar dari pada 0,05) berarti nilai DER sesudah SEO lebih besar dibanding sebelum SEO. Walaupun terjadi kenaikan kinerja menjelang dan pada saat penawaran, namun kenaikan kinerja ini terus terjadi setelah SEO tersebut. Hal ini kemungkinan karena hutang perusahaan dalam mata uang asing tidak dilindungi dengan sistem hedging, sehingga menguatnya kurs dollar Amerika akibatnya krisis ekonomi mengakibatkan melonjaknya nilai hutang perusahaan (Candy, 2002).

Nilai p-value sebesar 0.018 (lebih kecil dari pada 0,05) variabel AR (abnormal return) mengindikasikan bahwa dugaan kinerja sebelum penawaran lebih besar daripada kinerja setelah penawaran. Besarnya kenaikan sebelum penawaran daripada penurunan setelah penawaran kemungkinan besar karena upaya manajemen mempengaruhi pasar cenderung berhasil. Walaupun setelah penawaran, ketika pasar menyadari kesalahannya segera melakukan koreksi yang mengakibatkan terjadinya penurunan kinerja saham perusahaan tersebut. Ini konsisten dengan penelitian Lougran dan Ritter (1997).

Kesimpulan
Jurang (gap) informasi yang ada diantara manajemen dan investor di pasar merupakan salah satu motivasi manajer melakukan manipulasi terhadap kinerja dengan menaikkan labanya (income increasing). Sikap oportunistik ini bertujuan untuk menaikkan harapan investor terhadap kinerja perusahaan dimasa depan dan menaikkan harga penawaran. Sikap oportunistik ini dinilai secara ekstrim sebagai sikap curang (fraud) manajemen yang diimplikasikan dalam laporan keungannya pada saat penawaran saham tambahannya tersebut. Keberhasilan dari sikap ini dinilai ketika manajemen berhasil menyesatkan investor dalam menilai saham yang ditawarkan tersebut. Walaupun pada periode pasca-SEO terbukti manajemen tidak mampu lagi melanjutkan sikap curangnya yang tercermin dari penurunan kinerja pasca penawaran.

Penelitian ini menemukan bukti bahwa perusahaan yang melakukan penawaran saham tambahan (seasoned equity offerings) mengalami penurunan pasca penawaran tersebut. Hal ini terbukti dari besarnya nilai mean variabel kinerja keuangan dan saham sebelum SEO dibandingkan setelah SEO. Kondisi ini mengindikasikan adanya upaya manajemen untuk memperbaiki kinerja yang dilaporkan dalam prospektus, dengan harapan penawaran saham tambahannya akan direspon secara positif oleh investor di pasar. Walaupun pada periode pasca penawaran penurunan kinerja (underperformance) akan dialami perusahaan sebagai bukti tidak bisa dilanjutkannya manipulasi tersebut tersebut. Penurunan kinerja ini merupakan cermin dari ketidakmampuan manajemen melanjutkan manipulasi yang dilakukan pada saat SEO. Bukti ini konsisten dengan beberapa penelitian manajemen laba disaat SEO terdahulu, misalnya Teoh et al. (1998), McLaughlin et al., (1996), Alderson dan Betker (1997), Loughran dan Ritter (1997), Rangan (1998), da n Kim dan Shin (2001).

Keterbatasan dan Implikasi
Penelitian ini bertujuan untuk mendukung hipotesis yang menyatakan terjadinya penurunan kinerja pasca panawaran. Dibaliknya ditemukannya bukti yang mendukung hipotesis tersebut ada keterbatasan dan kekurangan masih ada dalam penelitian ini, yaitu: dalam penelitian mengenai public offerings selalu menggunakan jumlah data yang cukup besar, baik untuk jumlah perusahaan sampel maupun waktu pengamatan yang mencakup periode yang panjang, seperti dalam penelitian Ritter (1991), Jain dan Kini (1994), dan Teoh et al. (1997; 1998a). Sedangkan penelitian ini hanya menggunakan 28 perusahaan dari 42 perusahaan yang melakukan SEO dalam kurun waktu 1994-1997. Keterbatasan ini disebabkan karena data keuangan perusahaan-perusahaan tersebut sulit diperoleh dalam periode yang cukup panjang. Sedangkan implikasi dari penelitian ini adalah memberikan bukti bahwa kinerja perusahaan yang tinggi menjelang dan pada saat SEO bukanlah mencerminkan kondisi fundamental perusahaan, namun hasil manipulasi yang dilakukan manajemen, sehingga investor disarankan tidak hanya mendasarkan diri kepada prospektus penawaran dalam membuat keputusan investasinya.

Daftar Pustaka
Alderson, Michael J., dan Brian L. Betker, "The Long Run Performance of Companies That Withdraw Seasoned Equity Offerings", Working paper, September 1997.

Allen, David E., dan Victor Soucik, "Performance of Seasoned Equity Offerings in a Risk Adjusted Environment", Working paper, 2001

Bayless, M., dan Chaplinsky, "Is There a Window of Opportunity for Seasoned Equity Issuance?", Journal of Finance, 1996.

Buhner, Thomas., dan Christoph Kasere, "External Financing and Economicies of Scale in Investment Banking-The Case of Seasoned Equity Offerings in Germany", Working paper, June 2000.

Candy, 2002, "Analisis Kinerja Perusahaan yang Melakukan Seasoned Equity Offerings: Studi Kasus di Bursa Efek Jakarta", Working paper.

Cooney, J., dan A. Kalay, "Positive Information from Equity Issue Announcements", Journal of Financial Economics, 1993.

Denis, David J., dan Atulya Sarin," Is the Market Surprised by Poor Earnings Realization Following Seasoned Equity Offerings", Working paper, Desember 1999.

Denis, David J., "Investment Opportunies and the Market Reaction to Equity Offerings", Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 29 No.2, 1994.

Dubois, Michel., dan Pierre Jeanneret, "The Long-Run Performance of Seasoned Equity Offerings With Rights", Working paper, Januari 2000

Eckbo, B.E., dan Masulis, "Adverse Selection and The Rights Offer Paradox", Journal of Financial Economics, 1992.

Espenlaub, Susanne, "Discussion of The Life Cycle of Initial Public Offering Firms", Journal of Business Finance & Accounting, 26 (9) & (10), Nov./Des. 1999.

Guo, Lin., dan Timothy S. Mech, "Conditional Event Study, Anticipation, and Asymmetric Information: The Case of Seasoned Equity Issues and Pre-issue Information Releases", Journal of Empirical Finance, 7, 2000.

Harto, Puji, "Analisis Kinerja Perusahaan yang Melakukan Right Issue di Indonesia", Simposium Nasional Akuntansi IV, 2001.

Jindra, Jan, "Seasoned Equity Offerings, Overvaluation and Timing", Working paper, Maret 2000.

Kamis, 04 Maret 2010

softskill "riset akuntansi"

Misteri di balik Mimpi
Mimpi itu sendiri memang misteri, namun di balik mimpi tersembunyi banyak misteri. Benarkah orang mampu melukai orang lain saat ia terbuai dalam tidurnya yang lelap?Selama ini somnabulisme atau tindakan yang dilakukan orang saat tidur, diketahui hanya terbatas pada mengoceh (mengingau), berjalan, atau paling-paling makan sambil tidur (Intisari November 1982 dan April 1993).

Banyak peneliti berpendapat serupa, somnambulisme terjadi pada fase tidak bermimpi, atau disebut tahap REM (rapid eye movement) di mana fungsi otot biasanya "lumpuh".Mimpi membela diriNamun pernah ditemukan, ada orang yang tidak mengalami "kelumpuhan" otot selama fase REM sehingga mereka melakukan tindakan yang sesuai dengan mimpi mereka. "Pengidap" penyimpangan tidur selama fase REM seperti itu cenderung melukai orang lain. Ini berbeda dengan somnambulisme yang justru cenderung mencelakakan diri sendiri.

Cukup banyak kasus muncul akibat penyimpangan itu, bahkan sampai pada terjadinya misalnya kasus pembunuhan. Pelakunya bisa siapa saja, bahkan yang sehari-harinya dikenal baik hati. Mereka tanpa sadar melukai korban, biasanya orang-orang dekat yang mereka cintai.Ambil contoh saja, seorang wanita bermimpi rumahnya kebakaran. Namun yang terjadi, ia benar-benar melemparkan anak-anaknya ke luar jendela dari lantai atas untuk menyelamatkan mereka. Contoh lain, seorang pria menembak mati istrinya saat bermimpi sedang berhadapan dengan perampok di rumahnya.

Hal serupa terjadi pada seorang gadis 16 tahun dari Kentucky, AS, yang dalam mimpi buruknya melihat beberapa penjahat masuk ke rumahnya. Ia segera bertindak dengan mengambil senapan berburu milik ayahnya untuk menembak para penjahat. Tapi tindakan itu berakibat fatal. Ayah dan adik laki-lakinya tewas, sementara ibunya luka parah.

Ada lagi kisah getir yang mirip naskah cerita film. Seorang detektif polisi terpaksa menyela liburannya di tepi pantai untuk membantu petugas hukum lokal menyelidiki kasus penembakan yang tampaknya tanpa motif. Penembakan itu sendiri terjadi di dekat penginapan sang detektif. Di TKP (tempat kejadian perkara) ia menemukan jejak kaki yang satu jarinya hilang .... Seketika ia gemetar, diakah pelakunya? Mungkinkah ia melakukan semua itu dalam tidur saat bermimpi menangkap penjahat, yang memang sering ia alami?Yang perlu dilakukan kemudian oleh para penyidik, bagaimana membuktikan bahwa si pelaku beraksi dengan sadar. Sebab, bisa saja setiap pelaku tindak kejahatan berkilah, "Saya sedang tidur! Saya tidak sadar saat melakukannya!"Menurut dr. Meir Kryger, pimpinan Klinik Penyimpangan Tidur di Winnipeg, Kanada, "Dalam kasus penyimpangan tidur sejati, si pelaku memang tidak dapat bertanggung jawab atas tindakannya. Namun, meski bebas dari tuntutan, ia tidak boleh dibiarkan bebas berkeliaran sampai perilaku menyimpangnya sembuh."Lebih membingungkan lagi, psikiater dan ahli saraf tidak menemukan bukti adanya kelainan mental pada kasus-kasus kriminal semacam ini.

Rabu, 06 Januari 2010

Customer is everything

Good customer service is the lifeblood of any business. You can offer promotions and slash prices to bring in as many new customers as you want, but unless you can get some of those customers to come back, your business won’t be profitable for long. Good customer service is all about bringing customers back. And about sending them away happy – happy enough to pass positive feedback about your business along to others, who may then try the product or service you offer for themselves and in their turn become repeat customers.

If you’re a good salesperson, you can sell anything to anyone once. But it will be your approach to customer service that determines whether or not you’ll ever be able to sell that person anything else. The essence of good customer service is forming a relationship with customers – a relationship that that individual customer feels that he would like to pursue.

How do you go about forming such a relationship? By remembering the one true secret of good customer service and acting accordingly; “You will be judged by what you do, not what you say.” I know this verges on the kind of statement that’s often seen on a sampler, but providing good customer service IS a simple thing. If you truly want to have good customer service, all you have to do is ensure that your business consistently does these things:

1) Answer your phone.

Get call forwarding. Or an answering service. Hire staff if you need to. But make sure that someone is picking up the phone when someone calls your business. (Notice I say “someone”. People who call want to talk to a live person, not a “fake recorded robot”.) For more on answering the phone, see Phone Answering Tips to Win Business.

2) Don’t make promises unless you WILL keep them.

Not plan to keep them. Will keep them. Reliability is one of the keys to any good relationship, and good customer service is no exception. If you say, “Your new bedroom furniture will be delivered on Tuesday”, make sure it is delivered on Tuesday. Otherwise, don’t say it. The same rule applies to client appointments, deadlines, etc.. Think before you give any promise – because nothing annoys customers more than a broken one.

3) Listen to your customers.

Is there anything more exasperating than telling someone what you want or what your problem is and then discovering that that person hasn’t been paying attention and needs to have it explained again? From a customer’s point of view, I doubt it. Can the sales pitches and the product babble. Let your customer talk and show him that you are listening by making the appropriate responses, such as suggesting how to solve the problem.

4) Deal with complaints.

No one likes hearing complaints, and many of us have developed a reflex shrug, saying, “You can’t please all the people all the time”. Maybe not, but if you give the complaint your attention, you may be able to please this one person this one time - and position your business to reap the benefits of good customer service.

5) Be helpful - even if there’s no immediate profit in it.

The other day I popped into a local watch shop because I had lost the small piece that clips the pieces of my watch band together. When I explained the problem, the proprietor said that he thought he might have one lying around. He found it, attached it to my watch band – and charged me nothing! Where do you think I’ll go when I need a new watch band or even a new watch? And how many people do you think I’ve told this story to?

6) Train your staff (if you have any) to be ALWAYS helpful, courteous, and knowledgeable.

Do it yourself or hire someone to train them. Talk to them about good customer service and what it is (and isn’t) regularly. Most importantly, give every member of your staff enough information and power to make those small customer-pleasing decisions, so he never has to say, “I don’t know, but so-and-so will be back at...”

7) Take the extra step.

For instance, if someone walks into your store and asks you to help them find something, don’t just say, “It’s in Aisle 3.” Lead the customer to the item. Better yet, wait and see if he has questions about it, or further needs. Whatever the extra step may be, if you want to provide good customer service, take it. They may not say so to you, but people notice when people make an extra effort and will tell other people.

8) Throw in something extra.

Whether it’s a coupon for a future discount, additional information on how to use the product, or a genuine smile, people love to get more than they thought they were getting. And don’t think that a gesture has to be large to be effective. The local art framer that we use attaches a package of picture hangers to every picture he frames. A small thing, but so appreciated.

If you apply these eight simple rules consistently, your business will become known for its good customer service. And the best part? The irony of good customer service is that over time it will bring in more new customers than promotions and price slashing ever did!

http://sbinfocanada.about.com/od/customerservice/a/custservrules.htm

Should mothers stay at home with theirs children Or should be Work ?

my mother...

A mother is special. She's as soft and graceful as a butterfly, yet as strong and courageous as a grizzly bear. Her heart is large enough to hold everyone's pain and joy. Her hands are always gentle and soothing. Mothers have historically fulfilled the primary role in raising children, but since the late 20th century, the role of the father in child care has been given greater prominence and social acceptance in some Western countries.


I agree that My mothers should have the liberty to work as long as they are able to provide enough time and guidance to their children. My mother is a working mother of 3+ and my office timings are same as his school timings. My brother goes to a day boarding school from 7:30 AM to 3:00 PM and her office hours are 8:00 AM to :00 PM. Since the time my brother comes from school, and I come back home from the campus she is there with us.


Not sure if your mother stay at home have the good impact for her chirdreen, I take the example : Mothers’ behaviour can be, at times, negative for their children if they spoil them too much. A child should also know that things cannot always happen the way they want to, and they have to accept this. Crying and yelling aren’t always the perfect ways to impress their mother or father, in order to convenience them do certain thing. Therefore, mother who use to spoil their children to much should not give up their jobs in order to stay at home with their children, because they give up a negative education to these. Childreen will be used nothing, not even take food from the refrigerator because they know their mother is at home and does if for them. A girl won’t be able to iron a blouse because is her mother’s duty to do that for her, while she can do other things like watching TV, listening to music or applying some make – up to go out with friends.


"A mother has the special tears. She will melt seeing her children succeed. She would weep seeing them slumped. Her tears represent the strength and happiness. Untold tears came out when she gave birth, not tears of sadness but happiness"



Sabtu, 02 Januari 2010

Dandelion


The word dandelion comes from the French dent de lion, meaning lion's tooth. This name was given to the plant because of the toothed margins of its leaves. When the leaves are young, healthful salad or as greens. The plant has medicinal value. Its roots, like those of its rela-tive the chicory, are sometimes dried, roasted, ground, and mixed with coffee or used as substitute for it. For these reasons dandelions are cultivated to some extent, and a number of improved varieties have been developed. The wild dandelion, of which there are sev-eral species, is a native of Europe and Asia It has spread throughout all temperate regions, including the United States and southern Canada. Its golden-yellow flowers that brighten fields, waysides, and neglected lawns in spring, are beloved of childhood.

However, everyone who has the care of a good lawn dislikes this weed and does his best to get rid of it. This may be accomplished readily by treating the plants with sprays which kill the dandelions but do not injure the grass. The dandelion differs from most other plants in the way it reproduces. Its ovaries form fertile seeds without having to be pollinated (see Pollen).


Young dandelion leaves can be used in salads or they can be cooked. They taste best when they are young, before the plant has blossomed. Wine sometimes is made from the dandelion flowers.

In order to keep dandelion plants from growing on lawns, gardeners must cut deep into their roots. The roots grow to about 3 feet (91 centimeters) long in soft, rich earth. Slicing close under the surface only encourages the plants to grow. Gardeners sometimes spray dandelions with chemicals that destroy the dandelions but do not harm grass.

The flowers close at nightfall and remain closed on a dark day. After fertilization, the flower head closes and the fruit clusters develop. When the fruit is ripe, the head opens into a globe of parachuted fruits, which a puff of wind will scatter far and wide.


Lower Your Cholesterol

Eight-Step Plan to Lower Your Cholesterol

It's no secret that out-of-control cholesterol levels are a severe health risk and a major cause for heart attack and stroke, which causes many people to search for ways to lower cholesterol levels. Are you looking to lower your cholesterol? Cardiologist Deborah Barbour has developed an eight-step plan to help you lower your cholesterol and maintain healthy levels going forward, hoping that you will incorporate ways to lower cholesterol levels into your daily lifestyle.

Cholesterol is a normally occurring waxy, fat-like substance that the body produces to support healthy cell function and hormone production. Like oil and water, however, cholesterol in the blood does not mix or dissolve. To make its way around the body, cholesterol requires two kinds of special lipoprotein carriers — low-density (LDL), or "bad," cholesterol and high-density (HDL), or "good," cholesterol.

Before you begin it's a good idea to see your doctor — and to have your cholesterol checked. Dr. Barbour's program is for informational purposes only and should not be substituted for a doctor's medical care.

Step 1: Know your risk, know your numbers
Do you have high blood pressure? Do you have a family history of coronary artery disease before the age of 65? Are you a smoker? Overweight? Do you have coronary artery disease or problems with the arteries in your neck, legs or the aorta? Presence of one or more of these risks makes it even more imperative to monitor cholesterol levels. Even if you are not in the high-risk category it's still important to know your numbers and what they mean.

Step 2: Talk to your doctor.
You may not experience any symptoms if you have high cholesterol and most people don't know they have it. That's why it is important to have your blood checked periodically. A blood test called a lipoprotein profile measures the cholesterol levels in your blood and is the recommended test. Find out what your numbers are and talk with your doctor about what they mean. The American Heart Association recommendations for cholesterol levels are:

Total blood cholesterol level (includes HDL, LDL and triglycerides):
Desirable — Less than 200 mg/dL
Borderline high risk — 200-239 mg/dL
High risk — 240 mg/dL and over

How the numbers break out:
HDL — 40 mg/dl or higher
LDL — Less than 100
Triglycerides — Less than 150


Step 3: Read the Labels
In 1994 the Food and Drug Administration took a hard look at how food manufacturers reported the nutritional value in food and revamped the now famous food label. Those charts on the back of food packages should become your best friend. When considering your cholesterol take note of the section on saturated fat. Saturated fats are usually solid or almost solid at room temperature. All animal fats, such as those in meat, poultry, and dairy products are saturated. Processed and fast foods are also laden with saturated fats. Saturated fats can make your cholesterol levels go through the roof. Reducing saturated fat to less than 10 percent of your caloric intake will help you lower your LDL blood cholesterol. For more on food labeling go to Food Label.

Food manufacturers can also be tricky in how they label their products to grab the attention of the health-conscious consumer. New rules are now in place to guide shoppers. It's important to know what the following terminology means when searching for healthy foods:

Reduced fat: 25% less fat than the same regular brand.
Light: 50% less fat than the same regular product.
Low fat: less than 3 grams of fat per serving.
Reduced or fewer calories: at least 25 percent fewer calories per serving than the reference food.
Fat-free: less than 0.5 grams of fat per serving.

Step 4: Eat More Fish
Some fish — such as salmon, tuna, sardines, mackerel and herring — contain a type of fish oil called omega-3. Studies have found that omega-3 not only helps lower cholesterol, but also helps to reduce the chance of blood clot formation and protects against irregular heartbeats, which can cause heart attack and sudden cardiac death. The American Heart Association recommends about 3 ounces of fish at least two times a week or more. Fish oil supplements are also an option.

Step 5: Try Some New Recipes
Be adventurous. Just because it's healthy doesn't mean it won't taste good. Use soy products as a substitute for meat. Substitute egg whites or egg substitute for whole eggs, skim milk for whole and use olive or canola oil when cooking. Do like the Italians do and use olive oil instead of butter on bread. Bake or broil instead of frying and remove chicken skin before cooking. The American Heart Association online cookbook is a good source for "heart healthy" recipes. For more on cholesterol-lowering foods visit Fit Foods.

Step 6: Exercise
Nothing new here. Getting off the couch is one of the best things you can do for your overall health. Thirty to 45 minutes of moderate intensity workouts most days of the week is the recommendation. Try thinking of exercise as your recreation time by walking, swimming, dancing or bicycling. For more on how to incorporate exercise into daily life check out How Do I Increase My Exercise?.

Step 7: Monitor Your Cholesterol
Everyone over the age of 20 should have a lipoprotein profile performed at least every five years. If your cholesterol was found to be high or borderline at your last physical, begin Dr. Barbour's eight-step plan and get your cholesterol checked again four to six months after you have made these lifestyle changes. This will give your doctor a good indication whether dietary and activity changes are enough to lower your cholesterol or if medication may be required. If cholesterol-reducing medication becomes necessary your doctor will tell you which ones are best and how often you should have your cholesterol checked.

Step 8: Maintain a Healthy Weight
Shed those extra pounds. Being overweight is not only associated with an increase in cholesterol, but the extra pounds can increase your blood pressure and your risk for diabetes and certain types of cancer.

http://health.discovery.com/centers/cholesterol/plan/plan.html

25 Things You Might Not Know About Water

25 Things You Might Not Know About Water

By Erica Schuetz, Food and Water Watch


1. The world is currently in a water crisis. One out of six people worldwide doesn't have access to clean water. Every year, 2 million people die of diseases caused by a lack of clean water.

2. Regions throughout the world are experiencing water shortages, due to both droughts and overuse of water. Rivers all over the world, including the Columbia River, now dry up before reaching their ends.

3. Companies like Nestle are taking communities' water for bottling despite public opposition, in the US and abroad.

4. Bottled water plants don't provide good jobs.

5. Water advocacy does.

6. The international financial institutions (World Bank and IMF) have essentially forced many countries to sell their public water utilities to big water corporations.

7. Communities all over the world have organized, and in some cases shed blood, to regain control of their water resources.

8. Bottled water isn't safer than tap water. Last year, Environmental Working Group did a study that tested popular brands of bottled water for contamination. They found 38 different harmful chemicals, including painkillers, fertilizer and arsenic, in 10 brands of bottled water.

9. The average American's indoor water use is about 69 gallons of water per day.

10. According to the Washington Post in 2005, "Just one flush of a toilet in the West uses more water than most Africans have to perform an entire day's washing, cleaning, cooking and drinking."

11. Worldwide, big investors like T. Boone Pickens are buying up water rights like they have bought up oil. Some have predicted that the next wars will be over water.

12. You can carbonate your own water with a machine like this if you like it fizzy.

13. Plastic bottles can leach chemicals into your water. Lined aluminum or stainless steel bottles are the safest alternative.

14. Industry is pushing technology that makes ocean water into drinking water as a solution to shortages. But really, it's a bad idea.

15. Conservation can get us farther. Check out a whole bunch of conservation tips here.

16. In the US, people who get their water from a privately owned utility pay up to 80 percent more than those who get it from a public utility. Private sewer service can cost twice as much as public.

17. We may be able to conserve water by investing in renewable energy sources. According to Harper's magazine in December 2008, half of all freshwater drawn from U.S. sources each year is used to cool power plants.

18. In Bolivia, nearly one out of every ten children dies before the age of five. Most of those deaths are related to illnesses that come from a lack of clean drinking water. This statistic and others are discussed in the movie FLOW.

19. Every day, an estimated seven billion gallons of clean drinking water leak out of pipes in the US.

20. In 1978, the feds paid for 78 percent of water infrastructure in the US. As of 2008, it was 3%. Many communities don't have the money to make up the difference. You can meet with your legislator to tell them you support the creation of a dedicated source of funding for water infrastructure.

21. Up to 40 percent of bottled water is actually just municipal water that's been packaged.

22. There's a growing movement of college campuses and restaurants who have decided not to sell bottled water. You can join the movement with your school or business.

23. Most funky taste in water can be removed with a filter, such as a Brita. Chlorine taste will go away if you leave the water in an open pitcher overnight.

24. In 2003, the city of Johannesburg, South Africa started to install prepaid water meters, preventing the very poorest from accessing clean water. In 2008, the Johannesburg High Court declared this unconstitutional. This was a victory for the people, but the decision is being appealed, and the struggle continues.

25. The movement needs you. This isn't just for activists–it's for anyone whose body is made up of over 70 percent water.

http://planetgreen.discovery.com